Maka kata Yesus, “Biarkanlah dia melakukan hal ini mengingat hari penguburanKu. Karena orang-orang miskin selalu ada padamu, tetapi Aku tidak akan selalu ada pada kamu”.

     Yesus diurapi dengan minyak wangi oleh Maria sebagai lambang penguburanNya. Dengan demikian melalui kisah pengurapan itu, kematian Yesus yg baru akan terjadi pada Jumat Agung nanti, sudah dinyatakan kepada kita. Komunitas murid-murid Yesus ingin mencoba memaknai kematian Yesus yang tragis itu. Mereka menemukan dasarnya pada bacaan pertama dari Yesaya 42, 1-7 tentang Nyanyian Hamba Yahwe yang menderita. Bagi mereka Hamba Yahwe yg dinubuatkan oleh Yesaya itu sebetulnya adalah mengenai Yesus sendiri. Dengan demikian orang-orang Kristen awal melihat kematian Yesus sebagai jalan bagi keselamatan manusia. WafatNya menjadi bukti bahwa Ia mengasihi kita sampai sehabis-habisnya. Maka kematian Yesus tidak dianggap sebagai aib yg harus ditutup-tutupi namun justru diwartakannya dengan lantang dan tegas. Rasul Paulus berkata, “kami mewartakan Kristus yang tersalib…” (1 Kor 1,23). Salib Kristus menjadi pewartaan pokok iman Kristen.

     Apakah kita juga berani mewartakan Kristus yang tersalib itu? Tentu jawaban ini bukan sekedar hanya berkata “berani” begitu saja. Jawaban itu mengandung konsekuensi bahwa kita juga harus berani mati terhadap diri sendiri. Sungguh aneh jika kita mengatakan sanggup namun kita sendiri ternyata masih sangat egois. Sebab Yesus yg tersalib adalah Dia yang membiarkan hidupNya direndahkan demi keselamatan manusia.

     Maka dengan merenungkan misteri kematian Yesus ini kita diharapkan dapat merasakan kembali kasihNya yg mengagumkan supaya kita pun dapat mengasihi seperti Dia mengasihi kita. Dengan demikian kita tidak lagi hidup hanya bagi diri kita sendiri tapi hidup bagi Kristus dan sesama.

 

 

 

 

Rm. Yohanes Suratman, Pr