Tak banyak orang tahu bahwa Indonesia punya seorang martir yang kisahnya sangat menyentuh, seorang imam Katolik yang wafat dalam tugas imamatnya, demi menyelamatkan sesama dan tetap setia pada imannya. Sosok itu adalah Romo Richardus Kardis Sandjaja, atau yang lebih dikenal sebagai Romo Sandjaja (Sanjoyo), martir pertama dari bumi Nusantara.

 

Siapa Romo Sandjaja?

Romo Sandjaja lahir di Sedan, Muntilan, Jawa Tengah pada 20 Mei 1914, dari keluarga Katolik sederhana. Sejak kecil, ia dikenal cerdas, rendah hati, dan penuh semangat rohani. Ia sering berdoa di gua Maria di Sendangsono dan mengikuti misa harian, tanda awal kesungguhannya dalam hidup rohani.

Cita-citanya menjadi imam tumbuh sejak SD. Setelah lulus SMA, ia masuk seminari dan ditahbiskan sebagai imam pada 13 Januari 1943. Saat itu, Indonesia sedang berada di tengah masa sulit, yaitu penjajahan Jepang dan kemudian revolusi kemerdekaan.

Makam Romo Sanjaja

Patung Romo Sandjaja, Makam Romo Sandjaja Pr dan Fr. Bouwens SJ di Kerkof Muntilan

 

Pelayanan Penuh Kasih di Tengah Kekacauan

Meski masa tugasnya sebagai pastor hanya lima tahun, pelayanannya sungguh berarti. Romo Sandjaja ditugaskan di Paroki Muntilan dan juga mengajar di seminari. Ia dikenal sebagai pribadi sederhana, bijak, dan sangat peduli pada umat.

Saat gereja-gereja dirusak dan kekayaan umat dirampas selama masa penjajahan Jepang, Romo Sandjaja tetap melayani. Ia bahkan sempat bersembunyi di desa-desa, namun kembali dengan semangat untuk membangun kembali paroki.

Akhir Hidup yang Heroik

Tragedi datang pada 20 Desember 1948, ketika Agresi Militer Belanda II berlangsung. Dalam situasi penuh kecurigaan terhadap siapa pun yang terlihat dekat dengan pemerintah Belanda, Romo Sandjaja yang sebenarnya seorang pribumi, justru dianggap sebagai ancaman oleh kelompok pejuang lokal.

Pada hari itu, ia diculik bersama Frater Herman Bouwens, SJ oleh sekelompok pemuda Hizbullah. Keduanya diinterogasi, lalu dibunuh di sawah antara Kembaran dan Patosan. Ia menyerahkan dirinya demi menyelamatkan sesama rekan imam dan frater. Tindakan ini adalah bentuk cinta terbesar, seperti Yesus yang menyerahkan hidup-Nya demi sahabat-sahabat-Nya.

Makamnya Menjadi Tempat Ziarah

Jenazah Romo Sandjaja kemudian dimakamkan secara besar-besaran di Kerkop Muntilan, sebuah kompleks pemakaman Katolik.  Tempat ini menjadi tujuan ziarah rohani, Banyak yang datang membawa doa, harapan, dan ujud pribadi.

Namun gereja selalu mengingatkan bahwa makam ini bukanlah makam keramat. Kehadirannya adalah saksi kesetiaan dan cinta, bukan tempat mencari kekuatan mistik. Fokus utamanya tetap kepada Allah sebagai sumber segala rahmat.

Teladan Bagi Generasi Muda

Romo Sandjaja adalah simbol ketabahan, kesederhanaan, dan kesetiaan dalam iman. Meski hidup di zaman penuh konflik, ia tetap memberikan seutuhnya kepada Yesus. Ia bukan hanya imam, tapi juga pendidik, pelayan umat, dan martir yang wafat demi iman dan kasih.

Generasi muda Katolik masa kini bisa belajar dari hidupnya: kesetiaan dalam tugas, keberanian menghadapi tantangan, dan cinta tanpa syarat kepada sesama. Romo Sandjaja menunjukkan bahwa kekudusan bisa ditemukan dalam keseharian, dalam pengabdian, bahkan dalam penderitaan.

batu nisan romo sandjaja muntilan

Batu Nisan Romo Sandjaja

Mengapa Romo Sandjaja Disebut Martir?

Dalam tradisi Gereja Katolik, martir adalah orang yang wafat demi imannya kepada Kristus. Romo Sandjaja wafat bukan karena sakit atau usia tua, tetapi karena keyakinannya, karena keberaniannya berdiri teguh sebagai imam, dalam situasi yang membahayakan hidupnya.

Di balik nisan sederhana di Kerkop Muntilan, tersimpan kisah luar biasa tentang cinta dan pengorbanan. Romo Sandjaja, martir pertama Indonesia, tidak hanya meninggalkan kenangan, tapi juga warisan rohani yang terus menghidupkan iman banyak orang hingga hari ini.

Semoga kisah hidupnya memberi inspirasi bagi kita semua untuk hidup lebih setia, lebih berani, dan lebih penuh kasih—seperti Romo Sandjaja, sang martir dari Muntilan.

Kalau kamu merasa artikel Keuskupan Purwokerto ini menguatkanmu, kamu bisa bagikan ke teman atau keluarga yang lagi merasa sendiri dalam perjuangan hidupnya. Kadang, satu kalimat bisa jadi pengingat bahwa mereka gak sendiri.

 

Referensi: Wikipedia Richardus Kardis Sandjaja, Sesawi, Blog Holy Person dan Majalah Hidup/Ign Elis Handoko SCJ