Orang-orang Yahudi bertengkar antara sesama mereka dan berkata, “Bagaimana Ia dapat memberikan dagingNya kepada kita untuk dimakan”.

     Pertengkaran di antara orang Yahudi terjadi karena mereka mendengar ajakan Yesus untuk makan tubuhNya dan minum darahNya. Bagi mereka darah itu adalah sumber kehidupan karena itu tak bisa disentuh. Menyentuh darah berarti najis. Pada kisah orang Samaria yg baik hati imam dan Levi tidak memberikan pertolongan pada korban salah satu alasannya adalah karena takut menjadi najis bila menyentuh korban (lih Luk 10, 30-37).

     Yang mengherankan lagi, Yesus mengatakan bahwa jika orang itu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darahNya, tidak akan mempunyai hidup. Karena dagingNya adalah benar-benar maksnan dan darahNya adalah benar-benar minuman. Pertanyaannya adalah apa sebetulnya makna dari makan dagingNya dan minum darahNya itu? Bukankah hal itu sebuah skandal bagi orang-orang Yahudi?

     Yesus berkata, “Barangsiapa makan dagingKu dan minum darahKu, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia”. Menyantap tubuh Kristus dan minum darahNya, berarti bukan sekedar hanya “menerima komuni” di dalam misa tetapi mempersatukan kita dengan tubuh Kristus. Dan tubuh Kristus itu adalah nama lain dari Gereja (Kol 1,18). Jadi dengan menyantap tubuh Kristus dan minum darahNya, kita mewujudkan persekutuan satu sama lain di dalam Kristus. Ekaristi mewujudkan Gereja.

     Santo Agustinus mengatakan bahwa pada saat merayakan ekaristi, dia bertindak sebagai imam dan yang dikorbankan adalah Kristus. Tapi sesudah merayakan ekaristi, Yesus menjadi imam dan dia menjadi korbanNya. Artinya, dalam hidup sehari-hari dia pun siap dikorbankan bagi terwujudnya keselamatan sesama dan persekutuan umat seperti yg dilakukan oleh Kristus.

Sudahkah kita menghayati ekaristi yang sedalam ini?

Rm. Yohanes Suratman, Pr