Maka kata Yesus, “Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu, bahwa Akulah Dia dan bahwa Aku tidak berbuat apa-apa dari diriKu sendiri tetapi Aku berbicara tentang hal-hal sebagaimana diajarkan Bapa kepadaKu” (Yoh 8, 28).

    Injil Yohanes menyebutkan penyaliban Yesus, dengan istilah “meninggikan Anak Manusia”. Gagasan ini mengacu pada Kitab Bilangan 21, 4-9 tentang ular tembaga yg ditinggikan di atas tiang oleh Musa.

    Konon orang-orang Israel yg dibebaskan dari perbudakan di Mesir mulai pada membangkang dan berontak karena hidup dalam kegersangan padang gurun. Pemberontakan mereka berakibat fatal. Mereka dipaduk ular tedung dan mati. Musa berdoa supaya ular itu dijauhkan dari mereka. Allah pun mendengarkannya dan meminta supaya dibuat ular tedung dan ditinggikan di atas tiang dan siapa pun yang memandangnya akan diselamatkannya.

    Dengan menyamakan peristiwa penyaliban Yesus dengan peninggian ular tembaga, mau dinyatakan bahwa kematianNya di kayu salib itu bukan sebuah kebinasaan tetapi justru tanda kemuliaan karena di dalam salibNya itu Ia menyatakan Allah yg menyelamatkan manusia. Di dalam diri Yesus yang tersalib itu, kita menyaksikan Allah yang menebus dan mengasihi orang-orang berdosa.

    Mulai minggu ini kita diajak merenungkan kesengsaraan Kristus dan melihat kasih Allah di dalam salibNya yang hina sebagaimana difirmankan Tuhan. “Akan tetapi Allah menunjukkan kasihNya kepada kita oleh karena Kristus telah mati untuk kita ketika kita masih berdosa” (Rom 5,8).

    Melihat dan mempercayai Yesus yang tersalib, mungkin sekilas tidak sulit bagi kita. Masak sudah dibelain sampai mati, kok tidak yakin bahwa Yesus itu Penyelamat dan kita tidak mau bersyukur. Sungguh keterlaluan! Tapi mengimani salib Kristus tidak sama dengan sekedar percaya dan mengucap syukur. Mengimani salib Kristus berarti rela dihina dan bahkan siap memberikan diri supaya orang lain menjadi hidup. Apakah saya masih tetap setia jika merasa direndahkan? Bersediakah saya memberikan diri seperti Kristus agar orang lain menjadi hidup?

Rm. Yohanes Suratman, Pr