Ketika setan itu keluar, orang bisu itu dapat berkata-kata. Maka heranlah orang banyak. Tetapi ada di antara mereka yang berkata, “Ia mengusir setan dengan kuasa Beelzebul, penghulu setan”.

 

    Kekaguman yang diceritakan dalam Injil tidak selalu membuat orang menjadi beriman. Orang-orang yang menyaksikan penyembuhan orang yang kerasukan setan, sikapnya sangatlah ironis. Meskipun mereka sangat kagum tapi kekaguman mereka itu berakhir dengan penolakan terhadap Yesus. Mereka menuduh Yesus bersekongkol dengan Beelzebul.

 

      Menjadi orang beriman tidak cukup hanya sekedar memiliki rasa kagum. Memang bagus bila orang mengagumi apa yang diimaninya. Tetapi iman juga menuntut sebuah komitmen. Tanpa komitmen yang jelas, apa yang dikagumi itu tidak akan menjadi berarti. Kita bisa kagum setiap kali melihat panorama yg indah pada saat matahari terbenam. Tapi keindahan itu tidak ada artinya bila kita tidak berbuat apa-apa. Indahnya sinar matahari itu baru berarti bila kemudian kita tergerak untuk bersyukur kepada Tuhan. Kita mengabadikannya dan memasangnya supaya senantiasa mengingat Sang Pencipta.

 

     Kekaguman tetap bisa membuat seseorang menjadi buta jika mencegah orang itu untuk melihat tangan Tuhan yang menciptakannya; dan membuat tuli jika menutup telinga untuk mendengarkan suaraNya.

 

     Sebetulnya jika kita sadari, ada banyak alasan yang membuat kita harusnya menjadi beriman. Orang-orang yang kita jumpai dan berbagai peristiwa kehidupan yang kita alami, bisa menjadi sarana bagi Tuhan untuk menjumpai kita. Entah orang yang kita jumpai itu baik atau tidak, tidaklah masalah. Mereka tetap bisa menjadi channel yang menghubungkan kita dengan Tuhan. Tetapi kita kerap masih gagal dan tidak mampu mengenali Tuhan yang hadir di dalam diri mereka.

 

   Dalam masa prapaskah ini kesempatan untuk mengalami Tuhan ditawarkan secara berlimpah. Pantang, puasa, doa, pertobatan dan karya amal kasih, yang kita lakukan, kiranya dapat menjadi sarana untuk mendekatkan kita kembali kepada Tuhan.

 

 

RD. Yohanes Suratman